Tuesday, July 29, 2008

Kolera Mewabah 172 Nyawa Melayang, Pemerintah Lamban, Wabah Semakin Meluas

spacer.png, 0 kB
banner

Home
Kolera Mewabah 172 Nyawa Melayang, Pemerintah Lamban, Wabah Semakin Meluas PDF Print E-mail
Ditulis Oleh: Islami/Papua Pos
Selasa, 29 Juli 2008

http://www.papuapos.com
Jenazah korban wabah kolera dan muntaber yang terjadi di salah satu Distrik di Kabupaten Paniai saat akan dimakamkan oleh pihak keluarga dan kerabat. (Sumber: Gereja Sinode Kingmi Papua)
Jayapura – Kolera dan Muntaber mewabah, 172 nyawa masyarakat di kampung melayang, kasus ini sudah berlangsung beberapa bulan, tetapi pemerintah dianggap lamban bertindak dan wabah semakin luas.

Wabah kali ini ditemukan di titik wilayah Lembah Kamuu dan distrik Moanemani Kabupaten Paniai sejak tanggal 6 April 2008.

Data Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi yang melakukan kunjungan kelokasi dan melakukan pengumpulan data, mendapatkan inforasi hingga 21 Juli lalu, wabah tersebut telah menelan nyawa manusia sebanyak 172 orang, baik dewasa maupun anak-anak. Dari data yang berhasil didapatkan KPKC Sinode Kingmi, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika dan Biro KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, korban meninggal terjadi di dua tempat yaitu, Distrik Moanemani sebanyak 111 orang dan Distrik Kamuu Utara sebanyak 36 orang.

Untuk tingkat anak-anak umur 1-10 tahun sebanyak 38 orang, remaja umur 11-20 tahun 18 orang, pemuda umur 21-30 tahun 22 orang, dewasa 33 -70 tahun 68 orang.

Melihat kondisi yang memprihatinkan dan belum mendapatkan penangan serta perhatian dari pemerintah, Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Kingmi, SKP Keuskupan Jayapura, SKP Keuskupan Timika dan Biro KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, meminta kepada pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah kabupaten Paniai untuk segera mehttp://www.papuapos.comlakukan tindakan juga investigasi terhadap wabah yang masih dianggap simpangsiur, serta mengambil tindakan medis dan pencegahan terhadap masyarakat setempat.

Pdt. Benny Giay dari KPKC Sinode Kingmi dalam konfrensi pers di Kantor Keuskupan Jayapura, Senin (28/7) kemarin, didampingi Br. J. Budi Hernawan, OFM dari SKP Keuskupan Jayapura, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Fajar Timur, Dr. Neles Tebay dan Fr. Saul Wanimbo, Pr, menjelaskan kejadian yang menimpa masyarakat di kampung ini tidak boleh diabiarkan dan berlanjut, harus segera diambil tindakan dan dihentikan.

“Sangat disayangkan, sekalipun wabah ini sudah menyerang masyarakat di Lembah Kamuu, Kabupaten Paniai, selama 4 bulan berturut-turut, hingga kini tidak ada tindakan nyata dari pemerintah provinsi maupun kabupaten, untuk menyelamatkan nyawa warga di sana,” ujar Benny.

Dari data yang berhasil dihimpun KPKC Sinode Kingmi, wabah tersebut telah menyebar di 17 kampung dari 2 distrik di Lembah Kamuu dan dua kampung dari satu distrik di kabupaten Paniai.

Disisi lain, tidak upaya penanganan yang bersifat segera, menyeluruh dan berkelanjutan dari pemerintah, telah menimbulkan frustasi dan kecurigaan mendalam di masyarakat apabila wabah tersebut disebarkan dan pemerintah juga seolah-olah sengaja membiarkan masyarakat.

Ditempat yang sama Br. J. Budi Hernawan, OFM dari SKP Keuskupan Jayapura menjelaskan, sebagai upaya tindakan terhadap wabah yang sudah mengkawatirkan itu, Persatuan Gereja-Gereja se-Papua (PGGP) mencoba memberikan informasi kepada pemerintah Provinsi Papua dengan mengirim surat meminta audiens dengan Gubernur Papua, namun dari Sekertaris Gubernur mengatakan pihak PGGP bisa bertemu Gubernur setelah kegiatan Turkam selesai.

“Kami sudah mengirimkan surat untuk bertemu Gubernur, namun jawabannya baru dapat dipastikan setelah Turkam selesai,” papar Budi.

Menanggapi kejadian ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, dr. Bagus Sukaswara saat dikonfirmasi Papua Pos, semalam melalui telepon selulernya mengatakan, dirinya tidak dapat mengomentari masalah tersebut karena pihaknya belum mengetahui data pasti tentang korban meninggal.

Begitu juga terhadap siaran pers dari KPKC, dirinya belum mengetahui isinya dan data yang diperoleh.

Bagus menjelaskan, pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan Provinsi Papua telah melakukan tindakan, walau tidak menjelaskan tindakan apa yang sudah dilakukan untuk menghentikan wabah dan korban jiwa.

“Masalah ini sudah ditangani sejak bulan April lalu, kalau jumlah pastinya saya sendiri belum mengetahui sehingga tidak dapat berkomentar banyak,” tegasnya. **

Monday, July 28, 2008

Bangun Fasilitas Sekolah, Ortu Siswa Dimintai Sumbangan


28 Juli 2008 05:14:43



Dari Pertemuan yang Digelar Pihak SMPN I Merauke
MERAUKE - Pihak SMPN I Merauke minta dukungan para orang tua siswa secara sukarela untuk membenahi MCK, pengadaan sekitar 40 komputer dan tempat parkir sepeda maupun motor di sekolah tersebut. Permintaan itu disampikan kepada sekitar 1.336 orang tua maupun wali orang tua siswa SMPN I Merauke yang memadati GOR Head Sai Merauke, Sabtu (26/7).
Hanya saja, pada pertemuan yang berlangsung sekitar 2 jam itu, pihak orang tua keberatan dengan surat yang mereka diterima untuk menghadiri pertemuan itu. Surat tersebut dikirim oleh pihak sekolah maupun komite sekolah.
Dimana dalam surat yang ditandatangi ketua dan sekretaris Komisi Sekolah SMPN I Merauke itu menetapkan sumbangan bagi setiap siswa sebesar Rp 400 ribu mulai kelas X-XII. Dengan sumbangan itu diharapkan akan terkumpul Rp 480 juta yang akan digunakan masing-masing dengan rincian pembangunan MCK Guru/siswa sebesar Rp 60 juta, pembangunan tempat parkir sebesar Rp 30 juta, pengadaan maubeler sebesar Rp 90 juta, pengadaan computer Rp 150 juta dan untuk operasional sekolah sebesar Rp 150 juta.
Pertemuan dengan ribuan orang tua siswa itu dihadiri langsung Kepsek SMPN I Merauke Drs Sonny Renyut, Ketua Komite SMPN I Romanus Mbaraka, MT dan mewakili Kepala Dinas Pendidikan Menengah Kabupaten Merauke, Sonny Betaubun, S.Sos, MM, M.Pd.
Dalam dialog itu, sebagian besar orang tua mengaku tidak keberatan untuk memberikan sumbangan yang terpenting para orang tua dilibatkan langsung untuk turut memutuskan berapa yang harus disumbangkan dengan melihat kebutuhan sekolah. ‘’Ini kan keputusan dari Komite Sekolah tanpa kita para orang tua dilibatkan,’’ kata salah satu orang tua saat sesi dialog.
Setelah berjalan alot dan ada penjelasan langsung dari Sonny Betaubun yang mewakili Kepala Dinas Pendidikan Menengah Kabupaten Merauke bahwa telah ada surat edaran dari Provinsi untuk tidak dilakukan pungutan dalam bentuk apapun, akhirnya antara pihak sekolah dan orang tua/wali sepakat akan memberikan sumbangan yang nilainya tidak ditentukan tergantung kemampuan masing-masing orangtua/wali siswa.
Kepsek SMPN I Merauke Drs Sonny Renyut sendiri pada kesempatan tersebut mengaku tidak mengetahui adanya larangan yang turun itu, sehingga melalui komite sekolah meminta sumbangan para orang tua. ‘’Kalau mau lihat kondisi MCK kita sangat memprihatinkan dengan jumlah siswa sebanyak itu. Komputer juga hanya 20 unit pengadaan beberapa tahun lalu, sehingga dengan jumlah yang ada itu terpaksa beberapa rombongan kelas dikorbankan tidak mengikuti praktek computer,’’ jelasnya.
Sementara itu Ketua Komite Sekolah SMPN I Merauke, Romanus Mbaraka, MT, mengatakan jika permintaan kepada orang tua siswa itu bukan pungutan tapi sumbangan. ‘’Jadi ini bukan sifatnya pungutan tapi sumbangan,’’ terangnya. (ulo)


Sunday, July 27, 2008

Di Boven Diguel Diduga Terjadi Korupsi, Disinyalir Libatkan Oknum Sekda dan Bendahara

Ditulis Oleh: Abdul/Papua Pos
Senin, 28 Juli 2008

Merauke-Keseriusan dari Kejaksaan Negeri Merauke untuk mengungkap kasus korupsi di daerah Selatan Papua telah disikapi dengan melakukan investigasi gabungan BPKP dan Kejaksaan Negeri Merauke, tahap ke II, Minggu lalu.

Hasilnya, ditemukan dugaan korupsi pengadaan mesin pembangkit tenaga listrik tahun anggaran 2006 di Mappi. Dalam kasus ini Negara dirugikan kurang lebih Rp 800 juta. Selain itu, dugaan korupsi terjadi pada dinas Perhubungan dan Pertambangan kabupaten Boven Diguel melibatkan Sekretaris Daerah dan Bendahara.

Kepala Kejaksaan Nageri (Kajari) Merauke Sudiro Husodo, SH saat dikonfirmasikan diruang kerjanya kepada wartawan, Jumat (25/7), membenarkan adanya temuan tersebut, hanya saja siapa saja yang terlibat dan masuk dalam daftar tersangka, Sudiro masih enggan membeberkannya. “Yang pasti proyek PMPTL ini melibatkan pengusaha itu sendiri dan panitia proyek. Nama pengusaha ngak usah dulu di ekspos, nanti para pelakunya keburu kabur,” ujar Sudiro sambil bercanda.

Indikasi kerugian negara kata Sudiro didasarkan hasil audit sementara pada proyek pengadaan mesin diesel pada tahun anggaran 2006. Dimana pada pelaksanaan proyek tersebut belum diselesaikan 100 persen, anehnya anggaran telah ditagih 100 persen. Artinya, proyek belum diselesaikan, tetapi sudah ditagih 100 persen.

Ketika disinggung berapa nilai Proyek tersebut, Sudiro hanya dapat memperkirakan sekitar 1 Milyar lebih. ‘’Oleh karena itu, temuan ini sudah kita laporkan ke Kejaksaan Tinggi,’’ ujar dia.

Libatkan Sekda

Selain dugaan korupsi pengadaan mesin pembangkit tenaga listrik di Mappi ditemukan juga kasus dugaan korupsi pada dinas Perhubungan dan Pertambangan kabupaten Boven Diguel. Dugaan itu ditemukan pada proyek pengadaan kapal dan pemasangan tiang listrik. Atas terjadinya dugaan korupsi ini menurut Sudiro, pihaknya sudah melakukan pendalaman.

Menurut dia, kasus ini melibatkan mantan Sekretaris daerah dan bendahara pemda kabupaten Boven Digoel.“Bukti-bukti pendukung sudah ada. Calon tersangkanya mantan sekda dan Bendaharanya,” ungkapnya.

Namun untuk meperdalam kasus ini, sambung Sudiro, akan ada tim dari Kejaksaan Tinggi Papua yang datang ke Merauke untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Bahkan disinyalir dalam proyek ini melibatkan pejabat setempat.“Bisa jadi Proyek ini melibatkan beberapa pejabat setempat. Kita lihat saja nanti pemeriksaan lanjutan," ujarnya.**

Friday, July 25, 2008

PAPUA BAPTIS HUMAN RIGHT ISSUE

Rev Socratez Sofyan Yoman discussed about West Papua Human Right Issue at the Amnesty International Luton and Dunstable AGM.
By WPNews
Jul 25, 2008, 21:15



David Akerman, Group Secretary and Rev Socratez Sofyan Yoman
Carol and Bob from Amnesty Aylesbury with Rev Socratez Sofyan Yoman
Rev Socratez Sofyan Yoman with all the Amnesty Luton Groups
Carol and Rev Socratez Sofyan Yoman.

2015 Indonesia Akan Pecah

Ketika anda baca judul diatas anda pasti kaget dan heran. Tapi yang pasti kata-kata diatas adalah judul dari sebuah buku yang dikarang oleh Djuyoto Suntani Presiden The World Peace Committee sebuah Institusi Kemasyarakatan Internasional yang jaringannya diseluruh dunia. Buku ini membahas berbagai konspirasi global yang mempengaruhi jalannya sistem pemerintahaan dan kehidupan masyarakat indonesia. Menurutnya ada tujuh alasan utama Indnesia akan pecah :
1. Siklus tujuh abad, 70 tahun
2. Kehilangan figur pemersatu
3. Pertengkaran sesama anak bangsa
4. Konspirasi global
5. Nama Indonesia menjadi nusantara
6. Nama Jakarta menjadi Jayakarta
7. Kalah pilpres 2014 " bikin negara sendiri"

selain alasan-alasan diatas ada juga alasan lain seperti: a) negara indonesia yang semakin hari semakin lemah, b) ideologi pancasila yang hendak dihapus, c) uang yang telah menjadi dewa, d) rasa cinta tanah air yang mulai hapus, e) terjadinya sistem multi partai, f) tumbuhnya sekularisme, dan g) dimasukkannya dogma agama tertentu kedalam dunia politik.
Mari kita tunggu apa yang akan terjadi nanti. edo

Thursday, July 24, 2008

Menguak Alasan Pemprov Memindahkan Siswa Asal Papua dari Sekolah Penerbangan Lain

25 Juli 2008 04:28:34


Tidak Mau Ambil Risiko Karena Terbang di Papua itu Unik

Untuk menjadi pilot tidak mudah terlebih di area seperti Papua yang medannya begitu sulit dan cuaca yang tidak menentu sehingga butuh skill yang baik. Itu antara lain yang harus digaris bawahi dalam rencana rekruitmen calon Pilot asal Papua yang merupakan kerja sama antara Merpati Training Centre (MTC) dengan Pemprov Papua.

Laporan: RAHMATIA

Saat ini, Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Provinsi Papua sedang bekerjasama dengan Merpati Training Center (MTC) untuk menyekolahkan anak-anak Papua untuk menjadi pilot. Rencana itu, dibahas di DPRP yang ikut dihadiri General Manager Merpati Training Centre (MTC) Capt Asep Ekonugraha dan dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRP, Paskalis Kossy, S.Pd, Kamis (24/7).
Memang kerja sama itu belum diaktualisasikan dalam bentuk MoU (Memorandum of Understanding), namun segala persiapannya di kedua belah pihak sejak beberapa bulan lalu sudah mulai dilaksanakan.
Kabag TU Dinas P dan P Provinsi Papua, Drs Paul Indubri mengatakan, cukup banyak anak-anak asli Papua yang getol ingin menjadi pilot bahkan ada 8 orang siswa yang kini tengah disekolahkan di beberapa sekolah penerbangan, tetapi dirasa kurang memadai sehingga pihaknya bekerjasama dengan MTC. "Kenapa MTC karena fasilitasnya lebih lengkap bahkan salah satu yang terbaik di tanah air,"ujarnya seraya menambahkan saat ini 8 orang anak asli Papua sedang belajar di beberapa sekolah penerbangan lain akan ditarik untuk dididik di MTC.
Aneh memang tetapi pihaknya tidak mau mengambil resiko kendati miliaran rupiah uang (Rp 75 juta/siswa) sudah dikeluarkan untuk membiayai anak-anak Papua di sekolah penerbangan itu, mengingat kualitas atau skill seorang pilot sangat penting apalagi medan Papua yang berbahaya. "Kami hanya mau yang terbaik, sebab menjadi pilot itu tidak boleh sembarangan, itu salah satu alasan kenapa siswa asal Papua ingin kami dipindahkan ke MTC,"ujarnya.
Hal senada juga ditegaskan Capt Asep bahwa untuk menjadi seorang pilot, tidak boleh main-main, kemampuan skill harus tinggi, karena itu dalam rekruitmen calon siswanya juga harus selektif. "Memang tidak boleh main-main," tukasnya serius.
Kata Capt Asep, terbang di Papua itu unik, ada aturan regulasi yang mengatakan bahwa untuk terbang di Papua, pilot itu harus benar - benar menguasai medan sebab Papua itu pegunungan, sehingga penerbangannya fisual, tidak boleh sembarangan terbang. "Memang terbang di Papua itu sangat unik dan spesifik, harus tunggu cuaca baik baru bisa terbang," katanya.
Menurut guru pilot ini, hanya pesawat yang dalam ketentuan IMC (instrument meteorological condition) yang bisa terbang dalam kondisi cuaca buruk di Papua dengan cuaca yang sangat minim, karena tantangnnya sangat komplit. Pesawat itu boleh terbang jika memenuhi kaidah untuk terbang instrumen. "Jika pesawat visual itu tidak dilengkapi dengan instrumen untuk bisa terbang complit maka dia tidak bisa terbang,"terangnya lagi.
Kata Capt Asep, yang boleh terbang dengan IMC adalah Boeing 737 seri 300 dan 400, tetapi untuk pesawat Twin Otter yang terbang ke pedalaman tidak bisa, sebab pesawat itu memiliki fasilitas alat bantu pendaratan atau lepas landas di daerah sehingga pesawat itu tidak boleh terbang instrumen.
"Dia harus terbang dengan kondisi mata buta melihat cuaca hanya dengan mata telanjang. Jika cuacanya itu tertutup awan maka dia tidak bisa lihat apa-apa dan tentu tidak boleh terbang, makanya Papua areanya sangat unik dan spesifik," paparnya.
Tak hanya itu lanjutnya, cuaca di Papua sangat mudah berubah. Apalagi di pedalaman, landasannya sangat sulit. Jika di tempat lain ketika mendarat pesawat harus mengurangi kecepatan mesin maka di beberapa daerah di Papua ada yang justru kecepatannya ditambah (open power) karena landasannya ada yang menanjak gunung bahkan ada yang memanjat. "Itu yang spesifik dan antik," imbuhnya, sebab harusnya landasan itu datar dan rata.
Karena itu, untuk mendidik anak - anak Papua menjadi pilot di Papua harus benar benar yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tak heran jika biayanya juga mahal, hanya saja ia tidak menyebutkan berapa estimasi biaya untuk anak-anak Papua itu.
Di Merpati, pilot yang sudah punya jam terbang tinggi sekalipun setiap 6 bulan sekali harus dites previsiensi cek-nya begitu juga dengan pramugari. "Sangat timpang jika melihat dari personal ground yang berhubungan dengan regulation, jadi memang mahal," ujarnya

Sending MAF dan Helimission Memprovokasi Masyarakat Jayawijaya

Written by SPMNews
Tuesday, 11 March 2008

WAMENA ? (SPMNews)

Lapangan Bandara MAF dan Helimision dipalang oleh ratusan umat GKIP Koordinator Jayawijaya (10/03/08) dini hari. Karena Sending MAF dan Helimisona memprovokasi dan menghasut masyarakat pribumi Jayawijaya bahwa, ? GKIP adalah Gereja Setan, Gereja Anti Kristus dan MAF hanya bisa melayani penumpang GKII?, kata Thom Hans dan Bas Mexy (Hubula) dengan nada penghinaan.

Massa GKIP sedang menduduki lapangan MAF dan Helimision Wamena. Massa juga membuat tenda di MAF sebagai tanda keseriusan meminta saudara Thom Hans dan Bas Mexy segera mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan provokatif terhadap penduduk pribumi Pegunungan Tengah.

Thom Hans dan Bax Mexy (Hubula) adalah beberapa misionaris yang bersembunyi dibalik jubah Alkitab untuk menyembunyikan kejahatan mereka dalam membantai, membunuh, merampok dan menipu rakyat pribumi Pegunungan Tengah selamat ini demi kepentingan BISNIS PRIBADI para kulith putih. Thom Hans dan Bax Mexy adalah Drakula pengisap darah-darah segar jemaat Agamua selama ini. Selama ini mereka berhasil menipu rakyat Papua tetapi dini hari terbongkarlah semua kebusukan para misionaris yang dapat makan dari proyek-proyek mengatasnamakan masyarakat telanjang.

Bukan hal yang baru bagi kita, ketika lembaran hitam kulit putih yang telah diperlakukan terhadap para bangsa kulit hitam dibenuar Afrika, salah seorang tokoh Agama Uskup Desmont Tutut mengatakan bahwa, ?dulu mereka datang bawa Alkitab dan kita punya tanah tetapi sekarang kita memegang Alkitab dan tanah telah menjadi milik mereka para misionaris.

Thom Hans dan Bax Mexy mengatakan bahwa, ?Dr. Benny Giay membawa ajaran sesat?, dengan nada marah-marah. Kita perlu bertanya didalam pikiran kita mengapa seorang pembawa ijil ko marah-marah, pasti ada yang tidak beres atau TEMPAT MAKAN tergangu. Thom dan Bax bisa hidup dari hasil mengatasnamakan umat GKII selama bertahun-tahun. Sungguh para misionaris tidak lebih dari pada Lusifer berkedok jubah putih. Para misionaris adalah pembawa racun dan nestapa bagi Papua Barat. Maka usir seluruh para misionaris dari seluruh tanah Papua Barat.

Ada beberapa spanduk dan famplet yang terpasang didalam aksi (10/03/08) dini hari. Pertama, Sending MAF dan Helimision harus bertanggung Jawab atas pernyataan penghinaan terhadap GKIP. Kedua, Stop! Hentikan diskriminasi terhadap penduduk pribumi Papua. Ketiga, Saudara Thom Hans dan Hubula telah mencoreng para misionaris CAMA dan Gereja Kingmi dilembah baliem. Keempat, Thom Hans dan Bax Mexy (Hubula) segera mempertanggung jawabkan atas tuduhan dengan menuduh Dr. Benny Giay dan Dr. Noak Nawipa membawa ajaran Sesat. Kelima, Usir Keluar seluruh Sending MAF dan Helimision dari Papua sekarang juga. Demikian beberapa Famplet yang berhasil diliput oleh crew SPMNews Agamua dini hari.

Para Misionaris bukan pembawa Injil tetapi kedatangan mereka untuk MEMBUNUH, MERAMPOK, MENIPU seluruh masyarakat Pegunungan Tengah. Omong kosong mereka sekarang ini telah menjadi kenyataan. Jubah putih yang dipakai semakin jelas bahwa merekalah yang selama ini membunuh seluruh orang Papua. Injil yang dibawa adalah RACUN NESTAPA bagi PAPUA BARAT, para misionaris berhati serigala. Anggapan mereka orang Papua adalah BINATANG, TELANJANG, BODOH, KETINGGALAN ZAMAN sehingga mereka dengan seenaknya melakukan kejahatan.

Allah Papua berambut keriting dan berkulit hitam bukan Allah itu kulit putih jadi dengan dasar itu mereka membantai dan merampas tanah milik penduduk pribumi selama ini. Usir seluruh misionaris agen KAPITALIS dari seluruh tanah Papua Barat.




Sence Rumbarar Diculik, diperkosa, dibunuh & dibuang di Tapioka Nabire

Laporan:
YONES DOUW*

Nabire- [Biro Keadilan dan Perdamaian GKIP-Kingmi, Nabire Papua Barat]
, Kasus penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap kaum perempuan Papua kembali terjadi di Nabire. Namun, kali menimpa gadis bocah 12 tahun bernama Agustina Since Rumbarar, murid kelas VI SD Negeri Malompo Nabire.



Sangat sadis memang. Kejadian kamis( 12/09) malam lalu yang merenggut nyawa bocah Sence Agustina Rumbarar dari keluarga Yulianus rumbarar itu diperlukan dengan tidak manusiawi. Pasalnya, pelaku tidak hanya menculik, malahan diperkosa kemudian ia menghabisi nyawanya. Berita itu sangat menggemparkan kota nabire dan sekitarnya .

Alkisah, sebagaimana biasanya, kamis ( 12/09) malam lalu sekeluarga Yulianus bersama anak-anaknya telah lelap dalam rumah. Sang ayah bersama isteri dan anak bungsunya tidur di satu kamar. sedangkan 4 anak lainnya tidur di kamar yang berbeda. Korban Agustina dan dua orang kakaknya tidur di kamar tamu. Tak ada prasangka buruk atau firasat akan peristiwa penculikan sekaligus pembunuhan terhadap anak kedelapan ini

Tak ada hal yang janggal malam itu. Sekitar jam 4 dini hari terdengar teriakan dari salah satu anaknya diruang tamu tetapi karena malam itu lampu mati maka dirinya tak berani melihat. “teriakan dari anak-anak saya dari ruang tamupun sebentar saja sehingga tak lagi keluar dari tempat tidur untuk mengecek anak-anak”, tutur Yulius.

Pada pukul 5 pagi kakak perempuan almarhumah keluar dari kamar tidur melalui ruang tamu ternyata pintu sudah terbuka. Setelah melihat adik-adiknya, ternyata Agustina sudah tidak ada. Ia menduga korban keluar buang air kecil, atau adiknya pergi main-main di rumah tetangga. Mereka (sekeluarga) tidak memastikannya karena selama ini anak-anak SD libur gara-gara aksi mogok mengajar guru-guru.

Namun apa mau dikata, hingga pukul 9 pagi Agustina tak kunjung tiba di ruma. Karena penasaran Yulianus bersama istrinya, Sarah mencari keberadaan. anaknya pada tetangga, kerabat maupun teman-teman dekatnya. Namun, Sence tak juga ditemukan hingga sore hari.

Pencarian dari orang tua maupun warga pun mulai dilakukan sampai malam bahkan mereka melaporkan berita kehilangan pada pihak berwajib dan juga lewat RRI Nabire, tetapi itupun sia-sia.

Malam sabtu keluarga yulian tidak dapat tidur dengan baik malahan berusaha menghubungi kerabatnya ada di sekitar kota Nabire , tetapi semuanya mengaku tak tahu.

Keesokan harinya sabtu(15/09) pagi, Yulian dan para tetangganya sudah kumpul dihalaman rumahnya untuk melakukan pencarian. Mereka membagi beberapa kelompok lalu menyebar di lingkungan sekitarnya sampai pada jam 12 .00 siang masuk lagi di perbukitan Nabarua.

Salah satu kelompok yang masuk mencari di lereng Nabarua, mencium bau tak sedap lalu menelusuri bau tersebut, ternyata jazad seorang bocah perempuan ditemukan dengan posisi telungkup dan ketika jasad anak tersebut bapanya dipeluk dan diangkat oleh ayahnya usus/tariperut yang tercabik-cabik oleh alat tajam yang sudah terburai keluar itu berhamburan.

Malang nasipnya. Kondisi gadis dari bunda Sarah Korwa dan Yulianus Rumbarar tewas mengenaskan. Disekujur tubuhnya banyak luka-luka kena alat tajam. Di testa terdapat luka bekas tikaman. Pada alat kemaluannya rusak total sebab banyak goresan luka. Di ketiak ada belas tikaman. Dan usus terhamburi keluar dari tubuhnya sampai terputus-putu. Diwajahnya banyak goresan luka-luka bahkan dipelipis matanya ada bekas tikaman alat tajam. Usus dikeluarkan dari perutnya lalu dipotong-potong.

”Kondisi seperti itu yang saya temui saat ditemukan mayat Sence yang tak jauh dari rumah kami. Pembunuhan ini sangat sadis yang tak dapat saya terima sampai hari ini”, demikian tutur ayahanda Sance sambil menceritakan kondisi korban saat ditemukan.

Keluarga tak dapat melakukan apa-apa. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada aparat. “kami tak memiliki kemampuan dan wewenang untuk mencari dan menuduh pelaku dengan prasangka buruk. Karenanya, kami serahkan kepada aparat untuk mengusut tuntas. Saya tidak persalahkan pada siapapun sekalipun ada tanda- tanda mengarah akan adanya pelaku sebab itu bukan tugas saya, apalagi sudah diserahkan sepenuhnya kepada aparat untuk menyelesaikan mulai penyelidikan, penyidikan, hingga mengungkap pelaku-pelaku.

Kendatipun belum tentu akan terungkap tetapi kami bergumul, berdoa dan berpuasa agar terungkap masalahnya, sebab Sence yang tak berdosa diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi”, terangnya pasrah .
Diakui bahwa kematian bagi manusia kehendak Tuhan, tetapi kenapa Tuhan cepat mengambilnya begitu cepat. “saya tidak menuduh siapun, tetapi itulah kehendak Tuhan yang punya sumber hidup tetapi juga kami mendesak untuk segera selidiki untuk mengungkap persoalan ini. Walapun dalam kematian anak kami, ada banyak kejangggalan untuk terungkap, tetapi kami bukan polisi sebab itu tugas polisi”, tandas pria 10 anak ini

Kematian anak gadis kami itu jebakan-jebakan iblis. Ini mungkin cobaan bagi keluarga kami, walaupun sebagai manusia hati ini hancur sebab darah, roh dan jiwa saya tercabik-cabik. Mereka bukan bunuh anak saya, tetapi membunuh roh, jiwa dan darah saya. dan atas kejadian ini saya tidak bias salahkan siapapun. Kalau saja saya lihat atas perlakuan (darah) anak saya, saya bilang cukup dia perkosa saja jangan disiksa. Bagaimana tidak usus terburai keluar, alat kelamin tercabik-cabik ” terangnya pasrah.

Data Tambahan dari Wawancara di Kediaman korbam dengan keluarga oleh Sek Keadilan dan Perdamaian GKIP-Kingmi Nabire:

Pertama, Sebelum anak ini di bunuh, ada mobil kijang berwarna hitam kaca gelap plat merah masuk putar di halaman lalu kembali-kembali dua kali. Kami pikir ada antar/kasih turun orang, tau-tau tidak kasih turun, padahal dalam mobil itu banyak orang.

Kedua, Sebelum anak itu di bunuh, ada 1 orang pendatang (Mas) datang-datang jual barang-barang 4 kali . Yang ke empat itu, kami tuan rumah semua tidak ada dalam rumah dan anak-anak kecil mereka main-main di halaman Mas pendatang itu diam-diam masuk dan duduk sendirian di dalam rumah lalu bapaknya korban Since Agustina Rumbarar kaget ada orang tak kenal duduk dalam rumah, sehingga bapak since mengatakan: “jika tuan rumah tidak ada didalam tidak boleh masuk sembarang dan orang jual dagang itu harus di luar. Tidak boleh langsung masuk di dalam rumah”. Lalu Mas pendatang mengatakan, di Jakarta susah cari kerja jadi jual-jual barang.

Ketiga, Setelah itu orang mendatang itu keluar lalu pulang. Sejak kejadian pembunuhan sampai tanggal 10 Oktouber 2007 ini orang pendatang itu tidak pernah datang-datang dan bapak Sence cari orang pendatang itu di Nabire tetapi tidak dapat jadi mungkin dia pindah di tempat lain.

Keempat, Menurut Bapanya Sance, sewaktu mas pendatang datang jual barang, saya perhatikan baik-baik pada pakaian dan topi yang dia pakai.. Ia memakai topi terbalik. Ada lambang yang ia sembunyikan. Bapak korban melihat ada lambing kopasus sehingga bapanya sendiri berpikir bahwa ia adalah kopasus yang datang –datang.

Kelima, Since Agustina Rumbarar di bunuh di dalam kebun coklat lalu buang di jurang di bagian kali Nabarua dengan keadaan bugil.

Keenam, Polisi menuduh korban dibunuh oleh bapaknya. Polisi bilang sama bapanya Sence kamu yang bunuh Since Agustina Rumbara toh lalu mamanya/ Ibunya Since langsung jawab jangan tuduh suami saya sebab malam itu saya gelisa jadi pagi subuh saya duluan bangun lalu keluar dari kamar, bapanya masih tertidur.

Ketujuh, Sampai Jam yang kami wawancara belum ada tanggapan dari kepolisian. Setiap keluarga korban pergi ke Polisi untuk menanyakan perkembangan upaya pengungkapan pelaku penculikan, pemerkosa, pembunuh itu, polisi selalu menjawab bapak ibu sabar saja kami sedang usahakan. Keluarga korban masih menunggu kapan pelaku korban Sence diungkapkan.

Kedelapan, Since ini di bunuh jarak 100 meter dari rumah.

--------------

Figurre1: Korban Sance yang diperkosa dan dibunuh

Figure 2: Muka korban Sence di pukul hingga rusak

Figure 3: Sebelum terbunuh

-----
*) Ketua Keadilan dan Perdamaian GKIP-Kingmi Daerah Nabire, Papua Barat

The Reverend Benny Giay, West Papua


West Papua is not on the front pages of The New York Times most days. In fact,
most people don’t know that it is a territory of Indonesia, or that it is the site of a
deep-seated conflict in which the indigenous community has been seeking inde- pendence from Indonesia since the 1960s. So, perhaps, it is no surprise that most people don’t know about the Reverend Dr. Benny Giay. A native of West Papua,
Benny is working tirelessly to reconcile conflicts in the region that have claimed tens
of thousands of lives and forced many more from their homes. His story is one of faith, courage, and a guiding vision for what he calls “a New Papua.”

Born into a family from the Melanesian Me tribe, Benny was a young child when his parents converted to Christianity. He soon followed in their footsteps to become active in the Evangelical Church. His devotion to his faith, however, made him all the more frustrated as he came to recognize the Church’s failure to address human rights’ violations of its own Papuan constituency.

Determined, Benny decided to dedicate his life to making social justice a reality for
his community. In doing so, he has reconciled his indigenous and Christian roots, reaching a community that treasures its many historic traditions. The results are
new ideas and practices that speak to his fellow Papuans.

Benny began his quest by tackling one of his community’s highest priorities: education. Prior to 1986, students who wanted a seminary education had to leave home and travel far from West Papua, often a difficult and expensive experience. Benny decided to remedy the situation and, despite resistance from the Church, founded West Papua’s first seminary. Ten years later, he was unanimously elected chairman of the Church’s Education Foundation, successfully raising the funds needed to provide wages for the teachers – who had not been paid in years. Because of his leadership, thousands of Papuan students – West Papua’s future leaders – are now receiving a quality education without having to leave their community.

A prolific writer, Benny has also produced numerous books and articles exposing the human rights abuses within his community to the outside world. His latest writings outline how to reach a “New Papua” of reconciliation, nonviolence and peace.

While Benny has succeeded in providing many opportunities for his people, he has not done this without cost. Perhaps not surprisingly, his activism has put his life in great danger. His writings have been banned and he has been trailed at night, frightening
his family that he would not return home. When he travels outside the country, he is harassed as he departs and returns. The Indonesian government even blacklisted a human rights organization he founded with other church and community leaders.
Many members of the group have been terrorized by the military or had their homes destroyed.

But Benny plays down these risks, noting that others have suffered far worse then he. Instead, he persevered, becoming the director of the Papua Peace Commission through which he is trying to create a “zone of peace” in West Papua, within which no acts of violence would be permitted. One of West Papua’s greatest moral and intellectual voices, Benny is recognized as a man who puts his profound faith into practice as
he works for the people he loves.

http://www.tanenbaum.org/benny_giay.htmles.